Makam
Ngujang yang terletak di Kabupaten Tulungagung biasanya orang menyebutnya
dengan nama kethekan, nama itu
sendiri muncul karena terdapat ratusan kera yang tinggal dan berkeliaran di
makam tersebut. Nama Ngujang diambil dari kata “ngu” yang berasal dari bahasa
jawa yaitu nguk artinya suara keras yang berasal dari kera, dan kata “jang”
yang berarti pawejangan artinya memberi nasihat. Makam Ngujang ini hanyalah
makam umum seperti halnya makam yang lain, namun ada satu tempat yang memang di
sakralkan oleh masyarakat sekitar. Konon ceritanya tempat tersebut pernah di
gunakan Sunan Kalijaga melaksanakan sholat.
Dan
tentang kera yang berkeliaran di sekitar makam terdapat dua versi cerita. Versi
pertama yaitu saat Eyang Setono Renggo dan Putranya Raden Ayu Siti Sundari
sebagai cikal bakal pembuka Desa Ngujang mereka membawa hewan peliharaannya yaitu
sepasang kera yang lama-kelamaan berkembang biak menjadi banyak. Sedangkan
versi kedua yaitu saat Sunan Kalijogo memberi pawejangan namun ada salah satu
santri yang tidak mengikutinya tetapi bermain-main dan memanjat pohon dan sang
Sunan pun berkata “Yang lain mencari ilmu kok malah naik pohon seperti kera” karena
ucapan tersebut di lontarkan oleh seorang sunan akhirnya terkabulah menjadi
seekor kera.
Banyak
beredar juga berita tentang keberadaan kera yang tetap jumlahnya, namun berita
tersebut disangkal oleh sang juru kunci, bahwasannya berita tersebut hanyalah
guyonan. Jumlah kera di makam Ngujang bisa bertambah apabila melahirkan dan
juga berkurang apabila mati. Guyonan jumlah kera itu tetap maksutnya bukan
jumlah keranya yang tetap melainkan dimaksutkan pada wujud kera yang selalu
tetap dari tahun ke tahun. Dan apabila saat orang-orang melihat keberadaan kera
yang jumlahnya banyak disitulah saat sang juru kunci memanggil para kera untuk
berkumpul dan diberi makan. Sedangkan saat jumlah kera sedikit bukan berarti
kera-kera tersebut dapat menghilang, melainkan mereka sedang mencari makan di
sungai, bawah jembatan, atau sekitarnya.
Ngujang
juga memiliki adat trasdisi diantaranya yaitu, setelah mereka meahirkan
biasanya saat bayi berumur 5 hari masyarakat sekitar mengirim sego kokoh (nasi
kuning, sambal goreng, kacang goreng, kepala ayam, sayap, ceker dan jeroan yang
di tusuk menjadi satu). Yang semua itu memiliki makna untuk kekokohan si bayi
tersebut di masa depannya. Selain itu apabila masyarakat sekitar ada yang
menikah pasti mereka harus melepaskan Ayam di jembatan, yang mempunyai makna
agar setelah menikah bisa hidup mandiri seperti ayam yang di lepaskan tersebut.
Selain itu ada juga tradisi Nyadran yang biasa dilakukan oleh warga sekitar
sebelum melaksanakan selamatan, ini bertujuan agar saat melaksanakan hajat
diberi kelancaran.
Makam
Ngujang juga terkenal sebagai tempat pesugihan atau masyarakat sekitar
mengenalnya dengan ngalap berkah. Namun bukan berarti tempat ini selalu menjadi
tempat permintaan masyarakat sekitar untuk memohon pertolongan kekayaan. Tempat
tersebut dijadikan sebagai tempat ngalap berkah dikarenakan konon ceritanya punden
tersebut dulunya bekas Sunan Kalijaga melaksanakan sholat sehingga dipercaya
jikalau kita berdoa disitu permintaan kita akan terkabul. Pada dasarnya apabila
kita berdoa dimanapun saja kita berada asal niatnya baik dan di tujukan untuk
meminta pertolongan kepada Tuhan maka akan di kabulkan.
Punden
tersebut dibangun oleh FAM OEI HAN TIK PENG. PER. ROTI. OHT pada tanggal 7 Juni
1951 dan sudah direhabilitasi oleh Bapak Ribut Katenan pada tanggal 10 Juli
2014. Dalam pembangunan ruangan ini dipenuhi dengan nuansa warna hijau. Karena
untuk menghargai Kanjeng Ratu Kidul yang biasanya datang ke tempat tersebut.
Dalam rehabilitasi punden tersebut, Pak Ribut Katenan menuturkan bahwa beliau
mendapat wangsit dari Eyang Setono Renggo untuk tidak meminta sumbangan dalam
proses rehabilitasi tetapi jikalau ada orang yang menyumbang pun tidak boleh
ditolak itu dikarenakan menghargai orang yang memberi.